Sejarah Onsen Sulawesi Tenggara

Di Sekitar Kendari, Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, setidaknya saya megenal dua lokasi yang mempunyai sumber air panas (hot spring). Dua lokasi itu adalah Desa Kaindi Kecamatan  Kab. Konawe Selatan dan Desa Sonai Kecamatan Puriala Kabupaten Konawe. Meski hanya untuk beberapa jam saya mengunjungi keduanya kembali tanggal 14 Juni 2007.
Kunjungan ini merupakan sebagai rangkaian kunjungan untuk melihat dampak kegiatan yang pernah dilakukan oleh Proyek PKPM (Pengembangan Kemitraan dalam Pemberdayaan Masyarakat), sebuah proyek kerjasama tekhnis Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang melalui JICA dan Bappenas. Lokasi yang saya kunjungi sebelumnya adalah “Lengkese di Sulawesi Selatan” dan Toli-Toli di Sultra (silahkan baca : “Bangkit dari Tanah Tumbang (1) dan (2)” serta “Membangun Kembali Rumah Ikan”)
Kaindi : “Belajar dari Sonai”
Ketika PKPM melakukan kajian terhadap AKAD (Assosiasi Kerjasama Antar Desa), sebuah organisasi 15 pemerintah desa yang tersebar di 2 Kecamatan (Puriala dan Lambuya), seorang anggota masyarakat Desa Kaindi, Pak Syaharuddin, turut menjadi anggota tim pengkaji. Dia diharapkan bisa melihat aspek-aspek yang baik dari kasus ini secara horisontal dari sudut pandangnya sebagai anggota masyarakat. 
img_2009.jpg
AKAD yang lahir pada tahun 2000 ini lah menginisiasi, membangun dan mengelola sebuah Permandian Alam Air Panas, yang terletak di Desa Sonai. Secara bertahap, air panas yang muncul di rawa-rawa yang penuh tumbuhan sagu dan sejenisnya dibangun. Mulai dari perintisan akses jalan ke sumber air panas, membangun kolam sederhana, membebaskan lahan warga disekitar sumber air sampai membangun kolam permanen dan kantor pengelola dan penginapan. dibutuhkan 3 tahun untuk menuntaskan itu semua. Jadilah lokasi permandian ini tenar di seputaran Sulawesi Tenggara dan dikunjungi banyak orang.  Dibutuhkan sekitar 2 jam lebih dengan mobil dari Kendari ke arah barat untuk sampai di tempat ini. Seorang penjual jagung rebus, di Desa Amesiu Kecamatan Pondidaha Kab. Kendari yang kami singgahi untuk beristirahat sejenak menuturkan bahwa dia dan keluarganya sering berkunjung kesana, ketika lokasi permandian ini baru selesai di bangun. Dia juga menyaksikan bahwa pengunjungnya cukup banyak di hari libur, umumnya dari Kendari dan bahkan dari Kolaka. “Tapi sekarang tidak lagi”, begitu katanya. Tak heran, kalau asset yang dibangun dengan bantuan Pemkab ini bisa menyetor PAD 1 Juta setahun di massa jayanya.
Alhasil, Pak Syahruddin berhasil “membangunkan” warga masyarakatnya untuk “menemukan kembali” sebuah sumber mata air panas di yang juga ada di desanya.  Syahdan, menurut cerita orang tua-tua di desa berjarak 2 jam arah selatan barat daya Kendari itu, dulu (mungkin sekitar era perang dunia kedua) mereka sering mendapat orang-orang Jepang mandi dan berendam air panas bersama keluarganya di waktu-waktu tertentu. Penggalian pun dilakukan. dua bak besar berhasil ditemukan pada kedalam sampai 1 meter. Anehnya, meski bak kolam itu sudah terpendam ditanah puluhan tahun dan bahkan pernah ditanami tanaman jati di masa rajin-rajinnya pemerintah menggalakkan program reboisasi, kondisi kolam masih tetap bagus. Maklum, lokasi ini berada dalam kawasan hutan lindung. Belum ada yang bocor. “Kami tidak tahu dari bahan apa kolam itu dibuat”, decak kagum Pak Syahar. Sebagian bangunan sudah diambil oleh penduduk dimasa yang lalu, Tapi kolam tetap bagus. Hanya pipa penghubung antara kolam permandian dengan sumber utama mata air berjarak 700 meter ke arah atas yang tidak berfungsi lagi. Lokasi permandian belum berfungsi. Jalan tembus untuk sampai ke lokasi baru setengahnya yang dirintis. Masih membutuhkan kerja keras untuk “merevitalisasi” tempat ini. Satu yang pasti, lokasi ini dibangun Zaman Jepang, ya.. kira-kira 60an tahun lebih yang lalu, dan dipergunakan oleh orang dan tentara Jepang dan keluarganya untuk melepaskan penat di waktu-waktu tertentu.
Sonai pun demikian. Konon di sekitar tempat permandian ini juga merupakan lokasi Tangsi Tentara Jepang. Mereka akan mandi dan berendam disitu bersama keluarga di masa lalu. Ketika Jepang pergi, lokasi itu kemudian menjadi rawa-rawa tak terurus. Meski sesekali, ada orang yang datang mandi dengan cara mengibas-ngibas sampah daun sagu kemudian menyelam atau duduk didasar kolam yang memang tak dalam. Lalu apa hubungannya antara permandian air panas dengan masyarakat Jepang?
Ongsen dan Masyarakat Jepang
Jepang mempunyai ribuan kolam air panas (hot spring) di seantero negeri. Sebagai negara yang mempunyai banyak gunung berapi aktif, ONSEN, begitu orang menyebutnya, telah mengakar dalam kebudayaan Jepang jauh di masa lalu.  Shozuoka Prefecture yang terletak di sepanjang Samudra Pacific dan penuh dengan gunung dan danau mencatat adanya 2.300 mata air panas. Beppu di Oita Prefecture yang terletak di pantai timur Pulau Kyushu dikenal sebagai Hot Spring Resort City yang paling utama. Lebih dari 100 resort air panas terletak di daerah ini.
Onsen ada yang terletak di daerah terbuka dan tertutup. Bisa dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Banyak yang merupakan bagian dari Hotel atau Penginapan Traditional Jepang (Ryokan). Jika anda menginap di Ryokan yang mempunyai onsen, maka bisa dipastikan ada tambahan biaya pertamu permalam.  Situs http://japaneseguesthouse.com merilis 350 Hot Spring Ryokan di seluruh Jepang yang bisa diakses melalui internet. Situs ini bahkan mendaftar semua Hot Spring yang menarik dikunjungi, lengkap dengan fasilitas, tour route dan tarifnya masing-masing. Kelihatannya, Onsen sudah menjadi gambaran umum pariwisata Jepang di seluruh negeri. 
yufuin1.jpg  takaragawa2.jpg
Dulu, Onsen ini terletak di tempat terbuka, tetapi sejumlah penginapan saat ini telah membangun kolam mandi di bagian dalam lokasi penginapan sebagai fasilitas. Lalu apa bedanya, mandi di Onsen atau di kamar hotel atau di kamar mandi di rumah kita yang dilengkapi dengan pemanas air (water heater) ? Air Onsen dipercayai mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan, atau dipandang sebagai obat, dengan kandungan mineralnya. Karenanya, di Jepang, seringkali mereka menyediakan bak yang bermacam-macam dengan isi kandungan mineral yang berbeda-beda pula. 
Secara tradisional, laki-laki dan perempuan mandi bersama-sama di onsen, sebagai mana di kolam-kolam renang umum. Namun ketika Jepang membuka diri dengan peradaban barat sejak jaman Meiji, maka mandi hanya dengan sesama jenis menjadi kebiasaan baru. Ingat, mandi di onsen adalah mandi dengan tanpa pakaian sehelai benangpun….. mandi dengan celana pendek atau handuk bakalan di”tegur” oleh pengelola atau “diprotes” oleh sesama pengguna. Siapa yang bisa menjamin bahwa celana atau handuk yang kita pakai tidak mengandung penyakit, padahal onsen dipakai supaya sehat. Ya.. Masuk akal. Di onsen yang baik, kita bahkan disiapkan tempat mandi dan sabun sebelum turun di onsen yang sebenarnya.
Onsen yang bercampur laki-laki dan perempuan kadang-kadang masih tetap bertahan di beberapa daerah pedalaman Jepang, meskipun sudah menyiapkan juga pilihan “women only” atau mengatur jam yang bergantian antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian anak-anak kecil akan bercampur di bak untuk laki-laki maupun perempuan.
Rakyat Jepang seringkali bepergian dengan teman kerja sebagai penyegaran dan udara terbuka dianggap bisa memecahkan kebuntuan hirarki kehidupan kerja di masyarakat Jepang. Namun demikian, kebanyakan orang mengunjungi onsen tidak dengan teman kerja tetapi bersama teman-teman, pasangan ataupun keluarga.
Jadi jelaslah bahwa, Masyarakat Jepang menempatkan onsen bukan saja sebagai tempat rekreasi tapi juga sebagai pengobatan. Dengan menganggap pengobatan, maka orang akan menjaga kebersihan dalam menggunakannya. Mereka tidak akan sekedar mandi-mandi air panas, sebagaimana terjadi di Sonai dan Kaindi. Sekedar mandi-mandi air panas, maka tidak akan bedanya dengan mandi-mandi di rumah dengan menggunakan water heater. Lalu apa yang bisa menarik kita untuk mengunjungi kolam air panas.?
Karena orang berkunjung ke Sonai hanya sekedar rekreasi di permandian alam, maka bungkus shampo dan busa-busa sabun memenuhi setengah bibir kolam. Kolam menjadi kotor kelihatan. Ini bukan sekedar kesadaran pengunjung, atau kesigapan pengawas mengawasi pengunjung, tapi brand image yang ditawarkan, bahwa kolam air panas bukan sekedar untuk rekreasi, tetapi untuk kesehatan. Kalau tidak, maka Sonai akan semakin sepi pengunjung, sebagaimana saya hanya menyaksikan 4 orang laki-laki yang sedang berendam ketika saya berkunjung kesana beberapa waktu yang lalu. Tapi apakah Sonai memang mempunyai kandungan mineral yang baik untuk kesehatan? itulah soalnya, tidak ada penelitian, bahkan yang sederhana sekalipun untuk mengecek itu. Meski, kata Pak Slamet, Tokoh AKAD yang pernah 15 tahun menjadi Kepala Desa Sonai, “beberapa orang yang sudah lumpuh dan menjadi sembuh di air panas Sonai”… Tapi testimoni seperti ini tidak pernah dibuat. Pekerjaan tokoh-tokoh ADAT masih panjang. Dibutuhkan pemikiran dan bantuan berbagai pihak.
 Untuk Informasi mengenai Permandian Alam Air Panas Sonai dan AKAD dapat menghubungi : Bpk. Slamet Suhardjo dan Bapak Basran di Desa Sonai, Ir. Abdul Halim (Bappeda Sultra): trial_bapeda@yahoo.com, sedangkan Kaindi dapat menghubungi Abd. Kasim:  gmelina_riset@yahoo.com, Sekretaris Eksekutif The Hanami Centre, sebuah LSM lokal di Konawe Selatan.

Komentar

Postingan Populer